Jumat, 17 Juni 2011

Menjadi Seperti Anak Kecil


 Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”  ” Matius 18:2-3

Kamis, 16 Juni 2011

Barang siapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya


Barang siapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya. dan barang siapa yang kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. (Matius 10: 39) Berbicara tentang nyawa atau jiwa, kemungkinan kita berpenda-pat bahwa ini hanya masalah hidup atau mati—di mana, mati dianggap hanya sekadar berhenti bernafas. Nyawa dalam konteks ini menjadi sangat menarik karena mengacu pada satu pemahaman: barang siapa mempertahankan nyawa-nya, sama saja mempertahankan cara hidupnya. Selanjutnya, anggapan bahwa manusia bisa me-nyelesaikan persoalan hidupnya dan menyelamatkan diri sendiri, justru salah. Karena keselamatan tidak tergantung pada kemam-puan manusia. Keselamatan meru-pakan anugerah Allah. Karena itu, barang siapa berani kehilangan nyawanya karena Kristus, maka ia akan mendapatkannya.
Prinsip-prinsip apa saja yang hen-dak kita pelajari dari paradoks ini?
1.        Yang pertama, BERANI BERSERAH PENUH KEPADA TUHAN. 
        Keberanian ini bersifat mutlak, dan merupakan tuntutan dari Tuhan yang tidak bisa ditawar-tawar. Maka kita harus berani mempersembahkan, mem-pertaruhkan seluruh hidup kita ke dalam tangan Tuhan. Prinsip per-tama ini, bisa jadi merupakan ba-gian yang tidak kita sukai. Tetapi jika ditanyakan, apakah kita rela mati untuk Kristus? Kita semua pasti menjawab, “Rela.” Hal ini mirip dengan ketika Petrus ditanya oleh Yesus, beberapa saat sebe-lum menyerahkan diri pada pasu-kan tentara Romawi. Saat itu Petrus menjawab, “Guru, orang lain boleh lari, tetapi aku tidak.” Namun Yesus yang mengetahui isi hati manusia mengatakan, “Pet-rus, sebelum ayam berkokok, kau telah tiga kali menyangkal Aku.” Dan ternyata perkataan Yesus itu terbukti, sebab Petrus melarikan diri begitu tentara datang me-nangkap Yesus. Dari paparan di atas dapat kita lihat bahwa pada awalnya Petrus memang punya semangat yang bagus. Dan kita pun seharusnya memiliki semangat yang bagus. Tetapi biarlah kita menjelajahi seca-ra jujur hati nurani sendiri, agar ti-dak terjebak pada statemen emosi kosong belaka. Jujur pada hati nurani, menjadikan kita peka untuk mencermati sikap hidup kita. Kalau secara jujur kita menemu-kan bahwa kita tidak berani berse-rah diri, berdoalah supaya kita se-makin dikuatkan Tuhan. Berdoa-lah, memohon belas kasihan dari Roh Kudus, yang akan menuntun dan memampukan kita menyerah-kan seluruh jiwa raga pada Tuhan. Berani berserah artinya sama dengan berani kehilangan segala yang kita miliki—bahkan kehilangan nyawa. Sikap berani kehilangan ini pernah dicontohkan oleh Rasul Paulus dengan berkata, “Ada pun hidupku ini bukannya aku lagi, te-tapi Kristus hidup di dalam aku.” Waktu dia kehilangan dirinya, justru dia mendapatkan kesejatian dirinya. Kenapa kita harus berserah diri? Karena dulu kita berkuasa penuh atas diri kita, sehingga kita tidak mau mengendalikan diri, juga tidak mau diatur. Tetapi sekarang kita harus berserah diri, mau diatur oleh Tuhan. Dan bukan diri kita lagi yang menjadi pemerintah atas hidup kita, tetapi Tuhan.
2.        Prinsip kedua, Kita Harus Berani Melupakan Diri.
Dalam hal ini kita harus melupakan identitas, kepua-san, kebanggaan, kebahagiaan di waktu lampau yang kita sebut se-bagai hidup lama. Sebagai ganti-nya, sekarang kita mesti berani berpindah ke dalam kehidupan yang baru, yang sesuai dengan “selera” dan kehendak Tuhan. Jika ingin mendapatkan kehidupan yang baru, maka rela-lah kehila-ngan. Berani berserah, berani melepas harga diri, atau melupa-kan diri sendiri. Dalam Alkitab sering ditemukan istilah “manusia lama” dan “manu-sia baru”. Kita jangan mau terus berkutat sebagai manusia lama, melainkan harus hidup sebagai manusia baru. Jika kita tetap hidup sebagai manusia lama, dan tidak pernah mau menjadi manusia yang baru, maka kita tidak akan pernah merasakan betapa nikmatnya menjadi manusia baru itu. Dan oleh karena kita hanya berkutat pada kemanusiaan lama itu, maka nilai kepercayaan yang ada pada kita pun menjadi sia-sia. Namun perlu dicamkan, melupa-kan diri dalam konteks ini tidak sama dengan lupa diri. Lupa diri adalah sesuatu yang negatif, kare-na lupa diri adalah suatu kondisi yang tidak terkendali (out of con-trol). Keberanian melupakan diri yang kita maksudkan di sini adalah kemauan yang utuh untuk mena-ruh seluruh kehendak Allah men-jadi kehendak yang final di dalam hidup kita. Selanjutnya, kehendak Allah yang sudah terpateri di dalam hidup itu kita laksanakan dalam aktivitas sehari-hari. Jadi, penye-rahan mutlak kepada Tuhan, itu menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Kita harus berani berserah diri dan melupakan diri. Kedua kata kunci tersebut, yakni berserah diri dan melupakan diri, sangat penting kita resapi su-paya kita tidak berkutat hanya ke-pada diri, kebutuhan diri, sema-ngat diri, tetapi berkutat pada ke-hendak Allah. Kita pun semestinya senantiasa bertanya pada diri sendiri, “Apa yang diinginkan Allah untuk saya lakukan, sehingga pe-ngabdian saya total kepada Dia?” Dan jika kita mampu menjawab-nya, yakni dengan mampu melak-sanakannya, ini akan menjadi ke-sukaan tersendiri di dalam hidup kita. Itulah yang membuat kita mengalami dan mendapatkan kesejatian hidup. Kita mendapat-kan kesejatian hidup ketika kita berani melupakan diri kita yang dulu, kehidupan yang lama itu, sehingga mendapatkan diri yang sekarang, yang baru. Ini terjadi karena kita berani berserah.
3.        Keberanian yang ketiga, YAKNI BERANI BERKORBAN UNTUK TUHAN,
 menuntut kita untuk mempersem-bahkan seluruh kehidupan untuk Tuhan. Sehingga dengan demi-kian, di dalam kehilangan kita akan mendapatkan. Dan di dalam kehi-langan itulah kita akan menemu-kan. Alkitab memberi satu ilustrasi yang menarik, yakni biji gandum tidak akan pernah tumbuh men-jadi sebatang pohon gandum ka-lau biji itu tidak mati lebih dahulu. Kenapa? Karena biji gandum yang mati itu harus terlebih dahulu membelah dirinya. Dan oleh karena kematian, dan kemudian membelah dirinya itulah biji gandum tersebut mendapatkan kehidupan. Dengan kata lain, biji gandum mendapatkan kehidupan (yang baru) justru kalau dia membelah dirinya terlebih dahulu. Jika dibandingkan dengan manu-sia, maka manusia harus berani mengorbankan dirinya untuk Tu-han, baru kemudian memperoleh hidup yang baru. Maka keberanian untuk berse-rah, keberanian melupakan diri, dan keberanian untuk berkorban, sangat kita butuhkan untuk “membelah” diri kita sehingga dari diri kita muncul kehidupan dan pengharapan. Jadi penyerahan diri bukan suatu wujud dari ketidak-berdayaan. Mengorban-kan sesuatu bukan berarti akan kehilangan sesuatu. Melupakan diri tidak berarti kehilangan diri. Tetapi yang akan kita dapatkan justru sebaliknya, yakni kehidu-pan, kekuatan, dan identitas diri yang baru. (Sumber : Pelita Hidup)

Senin, 21 Maret 2011

ARAHKAN HIDUPMU KEPADA APA YANG MELAMPAUI YANG KELIHATAN!



“Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (II Korintus 4:18)


Ayat ini adalah permata murni yang riil, karena di dalamnya kita dapat menemukan kunci kesuksesan sebagai orang Kristen. Rasul Paulus memberikan penjelasan tentang apa yang harus kita perhatikan di dalam ayat ini. Pikirkan tentang kehidupan Paulus. Pada mulanya ia adalah seorang yang sangat terkenal dan sukses. Namun ketika menjadi orang Kristen ia kehilangan reputasinya dan mulai hidup susah dan menghadapi kerasnya kehidupan. Ia pernah dirajam batu dan kemudian ditinggalkan karena pikir orang ia sudah mati. Ia pernah dicambuk lima kali. Ia pernah dipukul dengan tongkat pemukul tiga kali. Ia pernah dirampok. Ia pernah menghabiskan satu setengah hari di lautan, berpegang pada sebatang kayu pecahan kapal. Semua temannya meninggalkan dia. Ia tidak lagi memiliki keluarga. Ia menghabiskan sisa hidupnya di dalam penjara. Ia akhirnya dipenggal oleh Kaisar Nero. Rasul Paulus hidup melalui perjuangan keras, kesusahan dan penderitaan. Namun ia tidak pernah menyerah. Tentu banyak orang yang memikirkan tentang kehidupan Paulus menjadi heran – Apa yang membuat orang ini bisa melewati semua itu? Apa yang membuat orang ini begitu tenang dan bahagia di tengah berbagai bencana dan penderitaan ?

Jika Kita menemukan jawabannya, itu akan menolong Kita bukan hanya untuk menjadi orang Kristen, namun juga untuk menghidupi kehidupan Kristen. Dan Paulus tidak menyembunyikan rahasia kekuatannya ini. Ia menjelaskan kepada kita secara langsung apakah kunci dari ketenangan dan kekuatannya di tengah badai kehidupan. Itu ada dalam ayat kita ini,

“Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (II Korintus 4:18)

Hal pertama yang perlu kita tahu adalah apa arti kata “memperhatikan” ini. Setelah kita mengetahui arti kata dari bahasa Yunani yang diterjemahkan “memperhatikan” di sini, selanjutnya kita dapat memahami suatu perbandingan dalam ayat ini dengan mudah.

“Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan …”

Kata “memperhatikan” ini berarti “mengarahkan pandangan” . Saya berpikir kita mungkin boleh berkata bersama, bahwa “memperhatikan” ini berarti “mengarahkan”. Oleh sebab itu, Paulus sedang menjelaskan kepada kita agar jangan “memperhatikan” apa yang kelihatan, tetapi perhatikan “hal-hal yang tidak kelihatan

Jika Kita mau menjadi orang Kristen, dan menghidupi kehidupan Kristen, Kita harus memperhatikan atau mengarahkan pandangan kita kepada hal-hal yang bersifat kekal, dan bukan hal-hal yang bersifat sementara. Dan oleh sebab itu ayat kita ini dapat dibagi menjadi dua poin.

Senin, 28 Februari 2011

"PS. PEMUDA PAULUS KUPANG"
Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.(Roma 12:11) 
(J.S.A.M)